Kaum Radikalis Lebih ‘lincah’ Menggunakan Teknologi

Kaum Radikalis Lebih ‘lincah’ Menggunakan Teknologi

RIAUMANDIRI.co - Sebuah kajian penelusuran percakapan di dunia maya yang disebut web scrapping menemukan bahwa penyebar ajaran radikal lebih ‘lincah’ menggunakan teknologi dibanding penganut agama moderat atau tradisional.

Irendra Radjawali, pengamat data yang berbasis di Jerman, menelusuri media sosial Twitter dengan menggunakan piranti lunak yang dapat menyaring algoritma internet.

Dengan menggunakan 300 kata kunci terkait radikalisme -seperti ISIS, jihad, kafir, Syria- Radjawali berhasil memetakan titik panas percakapan terkait radikalisme di Indonesia.

Dari penelusuran yang dilakukan pada periode minggu kedua September hingga minggu ketiga September 2016, diketahui bahwa ‘titik panas’ pembicaraan terkait radikalisme banyak terjadi di Sumatera dan beberapa kota di Jawa. Namun, menurutnya informasi ini bukan representasi kenyataan. Masih harus dibenturkan dengan apa yang terjadi di lapangan.

“Word cloud (awan kata-kata) bukan representasi dari kenyataan. Representasi dari perilaku orang di dunia maya. Artinya bahwa dia muncul di Sumatera dan di Jawa bukan berarti yang mentwit di Jawa dan Sumatera," kata Radjawali.

"Buat saya dua dunia paralel ini perlu kita mengerti. Dunia maya dan nyata. Temuan seperti yang saya lakukan tidak bisa diambil begitu saja harus dibenturkan dengan kenyataan. Kalau tidak, bahaya,” terangnya.
Akun robot

Dari hasil penelusuran, juga diketahui bahwa bahwa banyak akun di sosial media yang menyebarkan paham radikal ternyata akun robot –atau yang sering disebut bot– akun yang dijalankan mesin.Yang menarik menurut Radjawali bahwa percakapan terkait radikalisme ini tidak selalu menggunakan kata-kata yang konfrontatif.

“Secara umum bahasa yang dipakai bahasa-bahasa yang cukup sejuk, yang tidak membuat marah, konfrontatif. Artinya kita perlu terus pantau, karena kita tidak pernah tahu muatan di balik kata-kata itu apa.”

“Radikalis bukan hanya orang yang sangat keukeuh dengan agama tertentu. Menurut saya justru orang asosial, orang yang hidupnya online terus, dia tidak punya ruang, abis itu ada yang ‘nangkep’,” katanya.

Memang menurut Inayah Wahid, pemerhati sosial dan pegiat di Wahid Institute, kaum radikal lebih banyak menghabiskan waktu di internet.

Wahid Institute memiliki unit khusus yang memantau radikalisme online.

“Kita menyadari bahwa mereka memang sangat, mereka mendedikasikan waktu untuk itu. Mereka paham bahwa ini adalah cara yang sangat baik untuk menyebarkan doktrinnya,” kata Inayah Wahid kepada wartawan BBC Indonesia, Mehulika Sitepu.

Dia mengatakan kaum moderat harus memperbanyak penggunaan teknologi dan berkolaborasi dengan ahli teknologi informasi, sehingga dapat menahan penyebaran radikalisme lewat dunia maya.

Namun memang sulit untuk menahan gempuran radikalisme di dunia maya.

“Kalau lewat Twitter atau Facebook, yang masih terbuka, kita masih bisa counter. Kalau yang tertutup itu yang susah, kayak Whatsapp, Line. Sehingga (para pengguna) gampang banget untuk ikut, karena yang dicongkel itu emosinya."

Ditambah lagi menurut Inayah, masyarakat Indonesia tidak terlalu suka mencari tahu kebenaran suatu informasi ketika mendapatkan suatu informasi, sebelum menyebarkannya.

“Itu kemudian menjadi sasaran empuk. Tinggal ngasih threading messages (jalinan pesan) langsung nyamber,” kata Inayah.(bbc/ivn)