Arti Cinta kepada Allah Ta'ala bagi Seorang Mukmin

Arti Cinta kepada Allah Ta'ala bagi Seorang Mukmin

RIAUMANDIRI.CO - Imam al-Bukhâri rahimahullâh dan Imam Muslim rahimahullâh meriwayatkan hadits dalam kitab shahîh mereka dari Anas bin Mâlik radhiyallâhu 'anhu, beliau radhiyallâhu 'anhu mengatakan:

Ketika aku keluar dari masjid bersama Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam, kami dijumpai oleh seorang lelaki di dekat pintu masjid. Orang itu bertanya,”Wahai Rasûlullâh, kapan kiamat tiba?” Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam balik bertanya kepada orang itu : “Apa yang telah kau persiapkan untuk (menyambut)nya?” Anas mengatakan: “Seakan-akan lelaki tersebut tertunduk diam,” kemudian lelaki itu berkata,”Aku tidak menyiapkan (maksudnya, aku belum membekali diri dengan, Red.) shalat, puasa, ataupun shadaqah sunat yang banyak, akan tetapi aku cinta kepada Allâh dan Rasul-Nya.” Mendengar ini Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam bersabda : “Engkau bersama dengan orang yang engkau cintai”.[1]

Mendengar sabda Beliau shallallâhu 'alaihi wa sallam, para Sahabat sontak bergembira, sampai-sampai Anas radhiyallâhu 'anhu mengatakan, “Setelah memeluk dien Islam, kami tidak pernah merasakan kebahagiaan yang lebih hebat dibandingkan dengan kebahagiaan karena mendengar sabda Rasûlullâh “Engkau bersama dengan orang yang engkau cintai”.


Mengapa mereka begitu bahagia? Karena mereka sudah diberitahu, bahwa dengan kecintaan yang benar kepada Allâh Ta'âla dan Rasul-Nya, seseorang dapat mencapai derajat yang jarang bisa diraih dengan amal. Karena amal terkadang ternodai oleh hal-hal yang merusaknya dan mengurangi nilainya. Namun, jika di dalam hati seseorang selalu ada cinta yang ikhlas kepada Allâh dan Rasul-Nya, maka kekurangan-kekurangan itu bisa tertutupi.

Namun ini bukan berarti bahwa cinta itu terpisah dari amal atau orang yang mencintai tidak perlu taat kepada yang dicintai, sama sekali tidak! Pengakuan cinta yang terlontar dari mulut, tanpa amal nyata, hanyalah sebuah kebohongan; Sebagaimana amalan yang tidak dilandasi rasa cinta hanya akan menjadi sesuatu yang tidak bermanfaat, ibarat badan tanpa ruh. Jadi amal merupakan konsekuensi cinta dan bisa dijadikan tolok ukur kejujuran sebuah pengakuan.

Kecintaan yang benar (kepada Allâh Ta'âla) memiliki rasa manis dan lezat yang tidak mungkin dirasakan oleh orang-orang yang mengaku mencintai-Nya (tanpa bukti). Dalam hadits shahih riwayat Imam al-Bukhâri dan Muslim, Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam bersabda:

Ada tiga sifat, barangsiapa memiliki tiga sifat ini, maka dia akan merasakan manisnya iman (kesempurnaan iman, yaitu) : menjadikan Allâh dan Rasul-Nya lebih dicintai daripada (siapapun) selain keduanya; Mencintai orang lain semata-mata karena Allâh dan merasa benci (enggan) untuk kembali kepada kekafiran setelah diselamatkan oleh Allâh sebagaimana dia enggan untuk dilemparkan ke dalam api.[2]

Jika rasa cinta kepada Allâh Ta'âla sudah ada dalam kalbu kita, maka kewajiban kita selanjutnya adalah menjaga rasa itu dan kita berharap diwafatkan dalam keadaan kita mencintai dan dicintai oleh Allâh Ta'âla. Namun ini bukan hal mudah, banyak tantangan yang harus dilewati, terlebih di zaman seperti zaman sekarang ini. Fitnah begitu banyak tersebar ditambah lagi setan yang tidak pernah surut menggoda dan menjebak manusia. Hanya kepada Allâh Ta'âla kita memohon agar Allâh Ta'âla menganugerahkan kepada kita rasa cinta kepada-Nya dan menjadikan kita termasuk hamba-hamba yang dicintai oleh Allâh Ta'âla.

Kita memohon kepada-Nya agar senantiasa membantu kita dalam menjalankan apa yang menjadi konsekuensi keimanan dan kecintaan kita kepada Allâh Ta'âla.

"Ya Rabb kami, tolonglah kami untuk (selalu) berzikir, bersyukur dan beribadah dengan sebenarnya kepada-Mu".[3]

http://majalah-assunnah.com/images/naskah/garis.gif

[1]

HR Imam al-Bukhâri, no. 6171; Fathul Bâri (10/573). Juga diriwayatkan Imam Muslim, no. 2639, dan lafazh hadits di atas merupakan lafazh milik Imam Muslim.

[2]

HR al-Bukhâri (no. 16 dan 21) dan Muslim (no. 43).

[3]

HR Abu Dâwud (no. 1522) dan an-Nasa-i (no. 1303), dinyatakan shahîh Syaikh al-Albâni.


(Tajuk: Majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XV)