Independen, Ahok "Menggertak" PDIP

Independen, Ahok

Basuki Purnama atau  Ahok mencoba “menggertak” partai PDIP. Apakah mau mencalonkan dia jadi Gubernur DKI Jakarta periode  yang akan datang atau tidak, banyak yang terkesima.

Mengapa begitu “lancangnya” sang Gubernur ini? Ternyata pokok perkaranya, jika tidak berkenan, Ahok akan menempuh jalur independen. Ahok akan hengkang dari partai yang selama ini mendukungnya. Apa boleh buat, terpaksa.
Deparpolisasi

Terbukti PDIP tidak mencalonkan Ahok. Dengan tidak ikut partai, maka diartikan orang awam meninggalkan, memisahkan diri, menyepelekan partai politik. Padahal, yang ada selama ini Gubernur selalu digadang-gadang, diusung oleh partai. Hal ini dihubungkan demokrasi hanya ada jika ada partai politik. Meninggalkan partai, diidentikkan dengan deparpolisasi dan meninggalkan demokrasi.

Dalam teori politik, pengertian bahwa  deparpolisasi sesungguhnya terletak dalam dua makna, yaitu  makna afeksi, hubungan dengan banyaknya pemilih dari partai. Makna yang kedua, makna evaluasi berkaitan dengan penilaian masa tentang partai tersebut. Jadi deparpolisasi jika jumlah  pemilih tidak lagi signifikan. Kedua  evaluasi masa bila parti itu tidak  lagi cukup fungsional. (Muhtar Muhtasi).

Intinya, pelecehan partai, karena tidak lagi menguntungkan atau tidak dapat diandalkan. Lalu ditinggal. Kenapa mudah amat berubah. Inilah yang banyak ditentang. Misalnya Hanafi Rais, dari DPP PAN meminta sikap yang meniadakan partai hartus diwaspadai. “Sikap emoh parpol harus diwaspadai,” katanya di Yogyakarta suatu ketika.

Terbukti  Hanafi Rais, tidak seorang diri. Faktanya tokoh PKS dengan nada yang berbeda namun sama dengan  pendapat yang menolak  keharusan yang menihilkan parpol. Muzammil Yusuf menyatakan, hal itu dianggap tidak mendukung adanya sistem demokrasi dalam negara kita. Demokrasi dalam kontitusi negara kita adalah  dengan partai-partai. Bagaimana mungkin demokrasi mau ditegakkan jika partainya disepelekan.

Jika ada yang menilai  partai kurang maksimal berperan, sejatinya masalah kita bersama. Terutama pimpinan partai. Mereka harus membenahi partainya. Menjadikan parti yang ideal. ”Good party governance,” kata Muzammil lagi.
Era Orde Baru

Mencermatii deparpolisasi, tentu saja penting dan menarik. Mengingat sudah terjadi sejak  masa Orde Baru. Yang dulu partai ada dua, yaitu PPP dan PDIP. Golkar tidak menamakan partai tapi ikut pemilu, mudah untuk deparpolisasi. Sebab, yang dianggap partai hanya PPP dan PDIP. Sehingga deparpolisasi itu dihadapkan pada  PPP dan PDI saja.

Deparpolisasi, semacam ini pernah dikeluhkan tokoh  PPP. Dia adalah Rusjdi Hamka (alm), Ketua PPP Wilayah Jakarta. Ia  menjadi wakil Ketua DPRD DKI Jakarta.
Awal masuk partai, dia sudah disingkirkan oleh masjid, lembaga keagamaan. Karena orang partai tak diperkenankan jadi khatib, pencermah di banyak masjid di Jakarta. Padahal sebelumnya, masjid lembaga tersebut adalah tempat dakwahnya.

 “Kenapa  kok jadi begini ya,” katanya.  Pada saya satu hari di tahun 1985, Pak Rusjdi-panggilan saya- nampaknya mengalami kesedihan, meskipun jabatannya di  wakil Ketua DPRD DKI sangat terhormat. Tak lebih, tak kurang  itulah fakta deparpolisasi masa Orde Baru. Terhadap sosok orang parpol, akan dikurangi kebebasannya, dikucilkan dari lingkungannya.

Tentu era masa Orba dan sekarang berbeda. Masa Orba ada faktor pemerintah dengan kebijakannya, sekarang lebih disebabkan ulah parpol sendiri. Yang bisa  dilihat  sebagai berikut, pertama, parpol sudah terkena tradisi uang. Istilahnya adalah uang mahar untuk partai pengusung.

Contoh, untuk calon Gubernur DKI Jakarta diperlukan dana Rp200 milyar. "Ini pemilihan sampai Januari butuh Rp200 milyar. Hitung biaya kalau mau pakai parpol,” tambahnya dalam satu kesempatan.

Ahok juga memastikan, lebih banyak lagi dana yang diperlukan.”Duit saya ndak sampai” ujarnya. Hal itu dihubungkan kalau dia maju bersama PDIP. Baru untuk satu partai. Bagaimana kalau dua atau tiga partai pengusung. Artinya harus siap dana politiknya. Tanpa itu tidak mungkin. Inilah tradisi partai yang tidak bisa dihapus.

Kedua, tradisi budaya demokrasi yang belum tumbuh dan berkembang dengan baik. Yaitu politik mahar  yang bertentangan  dengan budaya demokrasi. Uang menentukan siapa yang jadi pemimpin.

Implikasinya luar biasa, dimana pemimpin atau kepala daerah yang terpilih terlibat korupsi. Untuk mengembalikan uang mahar Pemilukada, jumlah Kepala Daerah, Gubernur, Bupati, Walikota cukup banyak. Budaya  demokrasi sesungguhnya adalah  kepemimpinan rakyat, untuk dan berasal dari rakyat. Bukan pemimpin seolah-olah dari rakyat, tetapi muncul dengan dasar money politik, kekuatan kekuasaan uang (kapital).

Partai politik agaknya gagal dalam menjalankan fungsi pembudayaan politik berazaskan kerakyatan tersebut. Di lain pihak rakyat juga gagal paham, bahwa tidak ada hubungan  pemilihan pemimpin dengan jumlah uang. Pemimpin adalah konsep demokrasi, sementara  uang adalah konsep ekonomi.

Sangat berbeda. Akhirnya, inilah era deparpolisasi. Tidak bisa dielakkan. Ini merupakan perlawanan tertuju pada partai partai. Akibat  uang mahar dan lemahnya budaya demokrasi kita. Ahok adalah figur utama yang menggebrak parpol. Nantinya akan ada lagi figur yang serupa, kecuali parpol  segera berubah memenuhi fungsinya. ***

Dosen Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hanka (UHAMKA), Jakarta.