Banjir Anthropogenic?

Banjir Anthropogenic?

Tingginya intensitas hujan awal Februari, membuat beberapa wilayah di Tanah Air dilanda  banjir,  terutama Pulau Jawa dan Sumatera. Seperti, Jawa Tengah, Jawa Timur, Banten, Aceh, Bangka Belitung, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jambi dan Riau. Bahkan, ada daerah yang dikunjungi banjir sebanyak dua kali awal tahun ini. Banyaknya daerah yang terkena banjir di Indonesia, melahirkan beragam pertanyaan publik. Benarkah banjir yang terjadi, murni karena curah hujan atau bencana alam,  atau jangan-jangan ini banjir akibat ulah tangan manusia  atau anthropogenic?

Sesungguhnya bencana bisa disebabkan oleh fenomena alam dan pengaruh tindakan manusia, atau  kombinasi antara keduanya. Misalnya, gempa atau gunung meletus adalah fenomena alam, sedangkan banjir bisa saja kombinasi antara fenomena alam dan ulah manusia. Dalam Pasal 1 UU no 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, yang dimaksud sebagai bencana adalah ”peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan baik oleh faktor alam dan atau faktor non alam maupun faktor manusia, sehingga.

mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis”.
Kini, bencana banjir telah datang menghadang. Rakyat mengalami kerugian yang tidak terbilang. Mulai dari nyawa, sumber mata pencaharian, seperti sawah, keramba ikan, kenderaan, peralatan rumah tangga serta terhambatnya pasokan kebutuhan pokok rakyat akibat terputusnya jalur transportasi. Akibatnya, harga barang melonjak naik dan kehidupan rakyat kian terjepit. Untuk itu, pemerintah diminta tanggap terhadap masalah yang sedang menimpa anak bangsa, sembari melakukan upaya mitigasi banjir secara terencana dengan baik. Sekaligus melakukan introspeksi terhadap kebijakan serta perlakuan terhadap alam dan lingkungan.

Sebab, selama ini, Indonesia telah memperlakukan alam tidak layak, akibat desakan pembangunan yang profit oriented. Dengan alasan meningkatkan kesejahteraan melakukan pengorbanan (at the expense of) berupa deteriorasi ekologis baik yang berwujud menurunnya kesuburan tanah, penyusutan sumber daya alam yang tidak dapat diperbarui maupun disertifikasi. Hutan-hutan dibabat dan diterabas habis dan menukarnya untuk perkebunan kelapa sawit, industri, perumahan dan lain-lain. Alhasil, hutan sebagai tempat serapan utama air hujan sudah berkurang. Sehingga curah hujan menyusuri tempat rendah dan langsung masuk ke daerah aliran sungai. Akibatnya, air sungai meluap dan banjir menjadi keniscayaan yang tak dapat dielakkan lagi.

Dunia telah mencatat, bagaimana perlakuan kejam Indonesia terhadap hutan, bahkan tercatat dalam World Guinness Book of Records sebagai negara yang laju kerusakan hutan tercepat di dunia. Kerusakan atau ancaman yang paling besar terhadap hutan di Indonesia adalah penebangan liar, alih fungsi hutan menjadi perkebunan, kebakaran hutan dan eksploitasi hutan secara tidak lestari baik untuk pengembangan pemukiman, industri, maupun akibat perambahan. Forest Watch Indonesia pun mencatat kerusakan hutan di Indonesia dari tahun terus meningkat, sampai saat ini saja sudah mencapai 2 juta hektare per tahun. Alhasil 72 persen hutan asli Indonesia telah musnah, bahkan selama 50 tahun terakhir telah berkurang dari 162 juta hektare menjadi 98 juta hektare. Kerusakan hutan dan lingkungan inilah yang melahirkan penilaian publik, bahwa banjir yang datang, adalah banjir anthropogenic, yang disebabkan oleh ulah manusia yang tidak memperlakukan alam dengan layak Teguran Tuhan.

Dalam perspektif agama, banjir bisa saja teguran Tuhan kepada manusia, yang tidak lagi hidup selaras dengan perintahnya. Perintah Tuhan tidak saja dimaknai dalam ranah individual (ibadah mahdhah), tapi juga sosial (hubungan manusia dengan manusia serta alam ). Sebab, Allah telah menciptakan hukum kausalitas di dunia ini. Artinya, terganggu dan rusaknya alam, otomatis akan menimbulkan pengaruhnya dalam kehidupan. Ironisnya, manusia tidak cermat melihatnya sebagai hukum tuhan dan hanya menganggapnya sebagai fenomena alam murni tanpa ada hubungannya dengan akhlak manusia terhadap Tuhan dan alam. Kalau garis ini ditarik, kita akan menemukan titik persoalan setiap bencana yang melanda. Sehingga memunculkan upaya untuk meminimalisir datang sebuah bencana.

Ada usaha yang bisa kita lakukan dalam koridor kita sebagai manusia, dan ada yang memang ketentuan Allah yang mengandung berbagai hikmah di setiap musibah yang datang. Sebagai manusia, kita, terutama pemilik kuasa negeri, harus kembali menyisir ulang konsep pembangunan bangsa. Jangan karena ingin mengejar pertumbuhan ekonomi, mengeyampingkan kepentingan khalayak banyak. Seperti membiarkan tanah dan ekonomi hanya dikuasai segelintir anak bangsa, sedangkan mayoritas hanya memandang dan berjuang untuk sekedar hidup layak di tanahnya sendiri. Musibah yang datang, seperti banjir hanyalah akumulasi dari sederet masalah bangsa. Untuk itu, sudah saatnya bangsa ini, menyetir kemudi bangsa dengan hati nurani.

Menjalankannya dengan hati-hati dan menaati rambu-rambu kehidupan yang disepakati bersama anak bangsa dalam bentuk undang-undang maupun yang ditetapkan Tuhan. Seperti, penerapan pasal 33 UUD 1945, tidak menebang hutan sembarangan, membuang sampah pada tempatnya, tidak melakukan maksiat, politik yang bermartabat serta memperhatikan kepentingan penumpang (baca rakyat), bukan egoisme sang  supir.

Jalan untuk meneguhkan semua itu memang berliku, namun niat serta hasrat harus terikat erat dalam setiap detak jantung pemimpin dan rakyat. Sebab, hidup di dunia bukan hanya monopoli manusia, tapi juga ada makhluk tuhan yang lain. Berkawan dengan alam dan “memanusiakannya” akan melahirkan energi positif bagi kehidupan. Dan yang pasti, harus mengikutsertakan Tuhan dalam membangun kehidupan. ***
Mahasiswa Program Doktor Universitas Islam Sultan Syarif Kasim  Riau