Masihkah Perlu Rambu Lalu Lintas?

Masihkah Perlu Rambu Lalu Lintas?

Judul di atas memang sedikit menantang, karena banyak hal yang perlu dipertanyakan perihal disiplin lalu lintas, terutama di Pekanbaru. Kita tahu bahwa masyarakat masih lemah disiplin, tidak taat peraturan termasuk senang melanggar aturan berlalu lintas, enggan antri, senang membuang sampah seenaknya.

Saya pernah juga berkunjung keluar negeri, saya terkesima, kagum karena begitu rapi, bersih dan tertib. Langsung saya teringat negeri kita, saya sedih dan kesal juga, Kenapa orang bisa kita tidak? Aneh pula, ketika orang Indonesia diluar negeri, mereka disiplin dan taat aturan. Kembali ke Indonesia kebiasaan aslinya muncul lagi. Begitu pula saya menanyakan kepada orang asing yang sedang berada di Indonesia, dengan pertanyaan, Apa komentar anda ketika berada di Indonesia? Hampir semua yang saya tanya jawabannya sama yaitu tidak disiplin dan jorok.

Sekarang kita lihat mengenai tertib berlalu lintas, dimana sebagian besar rambu-rambu tidak dipatuhi. Dilarang masuk mereka masuk. Dilarang belok mereka belok. Dilarang parkir mereka parkir. Lebih parah lagi lampu-lampu persimpangan jalan tidak diikuti, tak peduli lampu warna merah, kuning dan hijau. Seperti tidak ada gunanya lampu-lampu tersebut. Yang biasa melanggar adalah anak-anak muda, angkot tapi ada juga anak-anak sekolah dan PNS. Berikut ini jalan-jalan verboden yang selalu dilanggar, seperti Jalan Pangeran Hidayat, Jalan HOS Cokroaminoto, Jalan Melati dan lain-lain.

Lampu persimpangan jalan yang tidak dipatuhi adalah, lampu jalan Yos Sudarso, Jalan Sekolah, Rumbai. Lampu Jalan Arengka, Jalan Durian, Lampu Jalan Yos Sudarso, Umban Sari. Itu yang sering terlihat karna saya memang tinggal di Rumbai. Namun demikian saya yakin sekali hal yang sama terjadi di tempat-tempat lain.

Pertanyaannya, kenapa terjadi pelanggaran-pelanggaran tersebut?
Pertama, karena sudah membudaya melakukan pelanggaran-pelanggaran lalu lintas akibat lemahnya sangsi terhadap si pelaku, sekaligus kalaupun ada sangsi tidak tegas dan tidak membawa jera. Kedua, wibawa Polantas sangat rendah di mata masyarakat. Orang akan memakai helm jika ada polisi. Razia yang setengah hati, orang tidak takut ada razia, karena diadakan secara terbuka maka orang menumpuk di dua arah jalan menunggu razia selesai. Ketiga, orang ingin cepat sampai tujuan, dan anehnya lagi ada yang merasa bangga melanggar rambu lalu lintas. Barangkali mereka merasa hebat dan menjadi tontonan masyarakat.
 
Bagaimana solusinya? Tentu dengan mempositifkan yang negatif di atas. Menurut saya ada dua sasaran, yaitu terhadap Polantas, harus proaktif. Sudahlah masyarakatnya lemah disiplin, Polantasnya jangan lemah semangat pula. Razia tidak hanya secara terbuka, tapi juga melalui patroli, jika ketemu yang melanggar langsung ditangkap. Setiap ada persimpangan yang ada lampu Polantas harus hadir. Yang melanggar betul-betul diberi sangsi membuat jera. Kedua, terhadap masyarakat, melalui pendidikan sekolah, orangtua di rumah, dakwah di lembaga-lembaga keagamaan. Jangan dakwah tentang surga dan neraka saja, bahagia di dunia jangan diabaikan. Khusus dakwah tentang disiplin harus secara terus menerus disampaikan.

Ingat doa kita, bahagia di dunia dan bahagia di akhirat. Sebagai penutup perlu juga diinformasikan, bahwa pernah ditulis di media, tingkat kesadaran berlalu lintas warga DKI Jakarta lebih baik dari pada Pekanbaru. Padahal jumlah penduduknya sepuluh kali lipat Pekanbaru. Sebuah renungan buat kita. Jika solusi di atas kita coba amalkan, diyakini tertib berlalu lintas akan menjadi lebih baik, masyarakat nyaman, sekaligus angka kecelakaan semakin berkurang.  Bagaimanapun rambu lalu lintas sangat dibutuhkan untuk di taati bukan untuk dilanggar. ***
Pengamat sosial dan keagamaan