GBHN Bisa Ancam Kewenangan Presiden

GBHN Bisa Ancam Kewenangan Presiden

JAKARTA (HR)- Wacana digulirkannya kembali Garis Besar Haluan Negara (GBHN) sebagai perencanaan pembangunan jangka panjang mendapat respon beragam. Pemuda Muhammadiyah menilai, GBHN tidak urgent untuk digulirkan kembali karena dinilanya sudah usang dan tidak kontekstual dengan sistem presidensial.

"Prinsip kami dengan wacana digulirkannya kembali GBHN, kami pemuda Muhammadiyah menganggap hal tersebut tidak urgent. Kalau kita bicara perencanaan, toh sampai detik ini kita masih punya RPJP (Rencana Pembangunan Jangka Panjang). Nah kalau GBHN ini sudah tidak kontekstual lagi dengan sistem presidensial yang sudah kita anut selama ini," ujar Ketum Pemuda PP Muhammadiyah Dahnil Anzar saat berbincang di Kantor PP Muhammadiyah, Jalan Menteng Raya, Jakpus, Jumat(22/1).

Dahnil menyampaikan hal tersebut usai konsolodasi dengan perwakilan dari Pengkaji Perubahan Konstitusi (KP2K) yang terdiri dari Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Universitas Andalas, PSHK, KoDe Inisiatif, Perludem, ILR, Univ Padjajaran, Sekolah Tinggi Hukum Jentera.

Dahnil menilai permasalahan perencaan pembangunan berkelanjutan bukan terletak pada konsep mana yang layak digunakan. Namun, dari segi pelaksanaan pembangunan yang masih kerap terjadi misskomitmen antara pemangku kebijakan.

"Misalnya ada yang berargumentasi tidak ada konsep yang berkelanjutan tentang perencanaan pembangunan sebenarnya keliru. Ketidakberlanjutan bukan pada masalah konsepsinya tetapi ada di masalah pelaksananya. Jadi bukan ada yang salah dari konsep perencanaannya tetapi ada misskomitmen yang terjadi misalnya antara pengawas, DPR, MPR, dan Presiden," papar Dahnil.

Ia mengungkapkan kekhawatirannya akan munculnya kembali superioritas MPR setelah digulirkannya GBHN bisa mereduksi kewenangan Presiden dalam melaksanakan pembangunan.

"Selanjutnya, kalau kita mendorong GBHN, dari sistem politik kita yang presidensial itu tidak sesuai kalau menggunakan GBHN karena penyusunan perencanaan negara tidak disusun lagi oleh Presiden. Padahal yang punya wewenang sebagai pelaksana pembangunan kan presiden. Kan bisa terulang lagi kejadian MPR menjadi superior," imbuh dia.

Dahnil menambahkan, GBHN bisa merusak tatanan demokrasi yang selama ini sudah berjalan cukup baik."Siapa yang bisa menjamin tidak akan terjadi situasi Presiden sebagai mandatoris MPR, tidak ada yang bisa menjamin nantinya Pemilihan Presiden tidak dipilih secara langsung. Apalagi mengingat produktivitas DPR yang sangat rendah dalam melegislasi undang undang," tutup dia.(dtc/hai)