Akankah Golkar-PPP Menuju Istana?

Akankah Golkar-PPP Menuju Istana?

Perseteruan internal Golkar dan PPP berakhir dengan putusan MA, PPP No. 504K/TUN/2015 dan Golkar No 490K/TUN/2015 yang memenangkan Golkar Aburizal Bakrie dan PPP Djan Faridz.

Konflik yang terjadi antara dua partai politik ini, tak bisa dipungkiri sebagai bahagian dari pecahnya Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) pasca pilpres 9 Juli 2014.

Perseteruan dua kekuatan koalisi ini, yakni dominasi  KIH di  eksekutif dan KMP di parlemen. Perseteruan membesar, pada saat kepentingan elit yang dua partai ini (Golkar dan PPP) memilih jalan berbeda menentukan “kompas politik” pasca pilpres, sebahagian elit berada di KMP, yang lainnya berada di KIH akhirnya hal inilah yang menyebabkan dua partai ini bergejolak satu tahun terakhir.

Dalam pengelolaan partai politik di Indonesia, konflik elit merupakan masalah yang selalu menjadikan partai tidak sehat mengelola organisasinya. Keinginan partisan terhadap partai niscaya berbeda dengan keingian elit.

Perseteruan elit menjadi masalah yang selalu menjadikan partai sebagai “boneka” kepentingan sesaat. Akhirnya, fungsi partai yang kita harapakan cendrung berlarian dari tujuan yang seharusnya, masyarakat tak bisa berbuat banyak dalam dinamika partai yang cendrung menyalahi atura konflik.

Dinamika politik yang terjadi pada Golkar dan PPP. Seharusnya masuk dalam catatan istimewa partai ini, rakyat dan pemerintah. Pertama, bagi dua partai ini dinamika yang terjadi pada internal partainya, hendaknya dijadikan pelajaran pengelolan  partai yang disibukan dengan konflik elit sesungguhnya langkah menghancurkan partai dari internal sendiri.
 
Kedua, rakyat harus bisa mencermati secara hati-hati, partai yang betul-betul bekerja untuk rakyat atau memang bekerja untuk elit semata, sibuk berjargon atas nama “rakyat” tetapi bergerak atas nama elit. Ketiga, pemerintah dalam hal ini Menkumham, memiliki wewenang yang tak membiarkan masalah ini beralut-larut, meskipun secara keorganisasian Menkumham tak memiliki wewenang, tetapi bersikap netral dalam hal ini merupakan cara seharusnya, dengan tidak menyeret dualisme partai ini dengan adanya kepentingan pemerintah membawa ke KIH.

Pasca putusan MA, kejelasan dua partai (Golkar-PPP) saya memberikan analisis tentang nasib dua partai ini sebagai berikut. Pertama, apabila Golkar-PPP tetap melanjutkan konflik ini, maka sebagai partai politik Golkar-PPP mendapatkan kerugian Selain kerugian pada pilkada akhir tahun ini juga pilkada semester kedua tahun 2017.

Sebab, pertaruhan partai politik pada ranah pilkada merupakan bentuk unjuk gigi partai ini bertarung pada Pileg dan Pilpres tahun 2019 sebagai wujud penanaman “modal sosial”.

Kedua, pasca putusan MA Golkar-PPP harus bisa melakukan konsolidasi antara kubu-kubu yang terbuang (barisan sakit hati). Pada pengelolaan organisasi, hal ini merupakan masalah berbahaya operasional keanggotaan dan konsilidasi kepartaian, untuk bisa bertahan merebut posisi kepala daerah dan berjaya pada pemilu 2019.

Pada Partai Golkar keberadaan kubu Agung Laksono merupakan barisan yang perlu dirangkul begitu juga kubu Romahurmuziy di PPP, jika Golkar-PPP ingin tetap eksis pada tataran politik Indonesia.

Ketiga, pasca putusan MA Golkar-PPP harus bisa mengambil hikmah tentang manajemen resolusi konflik di internal partai sebagai bentuk keunggulan Golkar-PPP agar konflik partai yang ada di internal tidak terbawa-bawa ke eksternal dan menjadi totonan masyarakat dalam waktu lama.

Apabila persoalan ini kita cermati secara saksama dan dianalisis dengan menggunakan teori struktuasi Bourdieu: habitus, modal dan kapital. Secara kepartaian dua partai ini telah memberikan kesan kurang populer ditelinga masyarakat bahwa partai yang sedang berkonflik emoh bekerja dengan baik untuk keperluan masyarakat sedangkan persoalan yang berhubungan dengan keorganisasian partainya masih berada dalam karut-marut konflik.

Opini yang tergambarkan dan terinternalisasi pada partai yang cenderung berkonflik merupakan habitus kurang baik yang digambarkan partai untuk mndapatkan dan mempengaruhi masyarakat.

Sebagai struktur dan agen yang mengelola partai, hal yang perlu diperjuangkan partai politik adalah “modal nama baik” dan “simbol kerakyatan” yang benar-benar nyata, pada karakter agen (elit parpol) dan struktur partai politik.  Percontohan ini menjadi sebuah modal yang melekat dan terus memproduksi dan mereproduksi pada konstelasi politik Indonesia pada level nasional dan daerah.

Golkar-PPP harus bisa mengumpulkan kembali modal-modal yang berceceran, panasnya konflik internal akhir-akhir ini bisa dikosolidasikan dengan momentum duduk bersama menghadapi pilkada.

Jika Golkar-PPP tidak bisa melakukan hal ini, maka “pemilih” partai ini akan berpindah ke partai lain yang dianggab bisa merepresentasikan aspirasi politik pemilih. Golkar-PPP pasca putusan MA akan menjadi arena pertaruhan partai ini melewati stigma masyarakat serta  konsolidasi kader yang terpecah-pecah akibat dualisme kepemimpinan yang berlarut-larut.

Bahkan banyak pula pengamat yang menduga, bahwa perseteruan Golkar-PPP merupakan langkah partai ini untuk bisa menentukan sikap. Sehingga, isu perpecahan merupakan langkah partai ini untuk melakukan konsolidasi dan menyatakan sikap, bahwa mereka akan mendekat ke istana.

Pertemuan Silaturahmi Nasional Partai Golkar (1/11), asumsi-asumsi itu terus berjalan liar sehingga perseteruan Ical dan Agung terasa cair. Akankah sikap Golkar yang melunak terhadap pemerintah bentuk kehawatiran Partai Beringin pada momentum Pilkada?, sehingga merapat ke istana merupakan cara Golkar memperkuat barisan dengan merangkul tokoh senior Golkar, Jusuf Kalla dan Luhut Binsar Panjaitan. Akankah PPP mengikuti langkah Golkar? Kita tunggu saja. ***