Kenapa Lulusan Perguruan Tinggi Banyak yang Bekerja di Bidang yang Tidak Sesuai?
Riaumandiri.co - Seringkali di dunia kerja, kita mendengar cerita tentang mahasiswa yang akhirnya bekerja di bidang yang jauh berbeda dengan jurusan yang mereka pelajari di kampus. Bahkan, tak sedikit yang kesulitan menemukan pekerjaan yang sesuai dengan pendidikan yang mereka tempuh.
Di Indonesia, fenomena ini sangat terlihat, di mana banyak lulusan perguruan tinggi yang bekerja di sektor yang tidak ada kaitannya dengan jurusan kuliah mereka. Istilah untuk kondisi ini disebut underemployment, yaitu ketidaksesuaian antara pendidikan formal dan pekerjaan yang dijalani.
Tak hanya terjadi di Indonesia, fenomena underemployment juga menjadi masalah besar di banyak negara, termasuk di Amerika Serikat. Di sana, lebih dari separuh lulusan dari jurusan-jurusan tertentu ternyata bekerja di sektor yang tidak membutuhkan gelar akademis mereka. Contohnya, banyak lulusan S1 yang akhirnya mendapatkan pekerjaan yang seharusnya bisa diisi oleh lulusan SMA.
Ini terjadi karena terbatasnya jumlah lowongan pekerjaan yang sesuai dengan kualifikasi gelar S1. Secara singkat, underemployment terjadi ketika para fresh graduate menerima pekerjaan yang tidak memerlukan gelar sarjana.
Survei yang dilakukan oleh O*NET dan laporan dari Federal Reserve Bank of New York menunjukkan bahwa banyak lulusan dari berbagai jurusan di perguruan tinggi, baik IPA maupun IPS, akhirnya bekerja di sektor yang tidak sesuai dengan keilmuan mereka. Menariknya, hanya sekitar 50 persen lulusan baru dari sejumlah jurusan yang berhasil mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan kualifikasi mereka dalam tahun pertama setelah lulus.
Salah satu penyebab utama tingginya angka underemployment adalah kesenjangan antara sistem pendidikan dan kebutuhan industri. Saat ini, jumlah lulusan S1 yang semakin banyak tidak sebanding dengan jumlah lowongan pekerjaan yang tersedia. Banyak jurusan yang masih terlalu berfokus pada teori akademik, sementara dunia kerja kini lebih menuntut keterampilan teknis dan digital.
Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Federal Reserve Bank of New York, ada beberapa jurusan yang memiliki tingkat underemployment yang cukup tinggi. Menariknya, sebagian besar jurusan yang termasuk dalam daftar ini adalah jurusan dari fakultas IPS.
Walaupun demikian, ini bukan berarti Anda harus berkecil hati jika jurusan Anda termasuk dalam kategori ini.
Data ini bisa berbeda di setiap negara, namun secara umum, ini menunjukkan bahwa persaingan di pasar kerja sangatlah ketat. Oleh karena itu, lulusan perguruan tinggi disarankan untuk meningkatkan keterampilan dan pengalaman mereka sebelum lulus.
Berikut adalah beberapa jurusan dengan tingkat underemployment tinggi di Amerika Serikat:
1. Peradilan Kriminal (Criminal Justice)
Jurusan ini memiliki tingkat underemployment tertinggi, mencapai 67,2 persen. Di Amerika, banyak pekerjaan di sektor penegakan hukum, seperti petugas keamanan atau staf administrasi pengadilan, yang hanya memerlukan pelatihan teknis atau sertifikat, bukan gelar S1 penuh. Sementara di Indonesia, lulusan Kriminologi masih bisa melamar di berbagai posisi di kepolisian atau TNI.
2. Seni Pertunjukan (Performing Arts)
Dengan tingkat underemployment sebesar 62,3 persen, lulusan jurusan ini sering bekerja di sektor hiburan atau pendidikan seni. Banyak dari mereka yang bekerja di luar bidang seni meskipun industri seni di Indonesia masih memberikan peluang, terutama dengan adanya media sosial.
3. Ilmu Humaniora (Humanities)
Lulusan jurusan ini menghadapi tingkat underemployment sekitar 56,5%. Meskipun mereka memiliki kemampuan analisis dan menulis yang baik, lapangan pekerjaan yang spesifik untuk bidang ini terbatas. Di Indonesia, beberapa jurusan seperti sastra dan sejarah masih menawarkan peluang di sektor pemerintahan, seperti lowongan CPNS.
4. Antropologi (Anthropology)
Dengan tingkat underemployment sebesar 55,9 persen, banyak lulusan antropologi bekerja di lembaga riset atau perusahaan swasta di bidang riset pasar dan SDM. Kekurangan permintaan industri terhadap keahlian ini menyebabkan banyak lulusan bekerja di luar bidang akademis mereka.
5. Pariwisata dan Perhotelan (Hospitality and Tourism)
Jurusan ini mencatat tingkat underemployment sebesar 54,5 persen. Banyak lulusan bekerja di sektor layanan pelanggan atau restoran, yang sebenarnya tidak membutuhkan gelar S1. Meskipun jurusan ini populer, banyak lulusan yang akhirnya bekerja di posisi operasional yang bisa diisi oleh lulusan non-S1.
6. Sosiologi (Sociology)
Dengan tingkat underemployment sekitar 54,1 persen, lulusan jurusan ini biasanya bekerja sebagai peneliti sosial atau analis kebijakan. Namun, jumlah lowongan yang sesuai dengan spesialisasi mereka terbatas. Di Indonesia, lulusan sosiologi juga masih terbuka untuk kesempatan di sektor pemerintahan.
7. Ilmu Sosial Umum (General Social Sciences)
Jurusan ini memiliki tingkat underemployment serupa, yaitu 54,1 persen. Lulusan sering bekerja di bidang pemasaran atau administrasi karena jurusan ini bersifat umum dan interdisipliner, membuatnya kompetitif namun kurang spesifik.
8. Kebijakan Publik dan Hukum (Public Policy & Law)
Jurusan ini memiliki tingkat underemployment sebesar 53,9 persen. Banyak lulusan jurusan hukum atau kebijakan publik yang bekerja di sektor swasta atau lembaga nonprofit. Di Amerika Serikat, lulusan hukum umumnya membutuhkan pendidikan lanjutan seperti sekolah hukum atau master di bidang kebijakan publik untuk mendapatkan posisi profesional.
9. Seni Rupa (Fine Arts)
Dengan tingkat underemployment sebesar 53,4 persen, lulusan seni rupa sering bekerja di bidang desain grafis atau pendidikan seni informal. Industri seni rupa sangat kompetitif, dan banyak lulusan yang memilih jalur freelance untuk bertahan hidup secara finansial.
Fenomena underemployment menunjukkan adanya ketidaksesuaian antara pendidikan yang diterima dan tuntutan dunia kerja. Untuk menghadapinya, lulusan perguruan tinggi perlu memperkuat keterampilan praktis dan beradaptasi dengan kebutuhan industri yang terus berkembang.(MG/DHA)