DJKI Tegaskan Pemotongan dan Parodi Film di Medsos Bisa Langgar Hak Cipta
Riaumandiri.co
- Tribun melaporkan bahwa Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI)
kembali memberikan peringatan kepada publik agar tidak sembarangan memotong,
memodifikasi, atau mengunggah ulang film di media sosial tanpa izin. Tren yang
tengah ramai di berbagai platform, terutama TikTok, dinilai berisiko tinggi
melanggar hak cipta karena film merupakan bundle of rights yang mencakup
berbagai elemen kreatif yang dilindungi hukum.
Direktur
Hak Cipta dan Desain Industri, Agung Damarsasongko, menyoroti maraknya praktik
memecah film menjadi potongan-potongan kecil untuk dijadikan konten. Ia
menegaskan bahwa tindakan tersebut termasuk pelanggaran terhadap hak moral
pembuat karya.
“Sekarang
lagi tren di TikTok dipotong-potong jadi berapa bagian. Itu sudah mutilasi
karya cipta dan melanggar hak moral,” ujar Agung dalam What’sUp Podcast
Kemenkumham RI, Jumat (14/11/2025).
Agung
menjelaskan bahwa seluruh komponen dalam film mulai dari naskah, musik,
penyutradaraan, pencahayaan, hingga akting merupakan ekspresi kreatif yang
memiliki perlindungan hukum. Oleh karena itu, tindakan mengedit, mengunggah
ulang, atau mengubah film tetap memerlukan persetujuan dari sutradara maupun
pihak berwenang lainnya.
Selain
pemotongan, konten parodi film juga menjadi perhatian karena sering dibuat
tanpa izin, bahkan ketika pembuatnya memperoleh keuntungan tidak langsung
seperti dari jumlah tontonan, endorsement, atau eksposur. Ia menegaskan bahwa
praktik seperti ini tetap dianggap pelanggaran.
“Remix
potongan film jadi parodi itu cikal bakal pelanggaran hak cipta. Hak moralnya
hilang, karya dipotong tanpa izin. Tidak boleh tanpa izin,” ungkapnya.
Dari
sisi kreator, sutradara dan komika Ernest Prakasa turut menyampaikan keresahan
tentang banyaknya clipper yang mengambil potongan film secara ilegal. Ia
menilai praktik tersebut merugikan pencipta film serta platform streaming yang
telah memperoleh hak tayang secara sah.
“Ketika
film dicacah jadi 30 klip, yang rugi bukan cuma kreator, tapi juga platform
streaming yang sudah membayar mahal. Tapi platform itu canggih banget
algoritmanya. Mereka bisa tahu mana bajakan. Kalau harus diaduin satu-satu,
saya capek, Bapak capek,” kata Ernest.
Meski
begitu, Ernest memahami bahwa media sosial tetap memainkan peran penting dalam
strategi promosi film. Menurutnya, para kreator harus mampu menyesuaikan diri
dengan dinamika digital sambil tetap menjaga prinsip hak cipta.
“Suka
tidak suka, peperangannya di TikTok. Mau tidak mau kita harus tahu cara
kerjanya karena orang sekarang udah pintar-pintar. Mereka tahu kok kalau kita
pakai buzzer dan segala macamnya,” ujarnya.
DJKI
menegaskan bahwa perlindungan hak cipta terhadap film bukan sekadar penegakan
hukum, tetapi juga bentuk penghargaan terhadap proses kreatif yang panjang.
Masyarakat pun diminta untuk menonton film secara legal melalui bioskop atau
platform resmi guna mendukung industri film yang sehat dan berkelanjutan. (MG/FAI)