KPU Sebut Hasil Penghitungan Sah Meski Saksi Tak Tandangan

KPU Sebut Hasil Penghitungan Sah Meski Saksi Tak Tandangan

Riaumandiri.co - Hasil Rekapitulasi penghitungan suara tetap sah meski ada saksi dari paslon capres-cawapres tidak melakukan penandatanganan.

Hal ini disampaikan Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) August Mellaz  menyusul catatan khusus terkait saksi pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD tidak menandatangani formulir D hasil tingkat provinsi saat proses rekapitulasi suara Provinsi Sumatera Selatan di Kantor KPU RI, Jakarta pada awal pekan ini.

"Tapi yang jelas di banyak hal, memang ada juga yang tidak menandatangani segala macam atau misalnya saksinya memang tidak ada," ujar August seperti dikutip Antara, Selasa (12/3).


Menurut August, tak semua peserta pemilu memiliki saksi saat penghitungan suara. Oleh karena itu, ada atau tidaknya tanda tangan sanksi tidak berpengaruh terhadap penetapan hasil rekapitusasi suara.

Dalam hal ini, sambungnya, penghitungan suara tanpa saksi tetap sah karena adanya dokumen-dokumen autentik seperti formulir C hasil dan D hasil.

"Iya dong (tetap sah)," ujarnya.

Rapat pleno terbuka sebelumnya mengungkapkan saksi pasangan calon presiden dan calon wakil presiden nomor urut 1 Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar tidak mau menandatangani formulir D hasil dan berita acara di tingkat Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel).

Ketua KPU Sumsel Andika Pranata Jaya mengatakan, saksi Anies-Muhaimin enggan tanda tangan karena menganggap pencalonan Gibran Rakabuming Raka tidak sah.

Saksi Anies-Muhaimin juga sempat melaporkan keberatan mereka usai pemungutan suara. Meski demikian, Bawaslu menolak laporan tersebut karena dianggap tidak memenuhi syarat.

Hal yang sama juga dilakukan oleh saksi dari pasangan calon nomor urut 3 Ganjar Pranowo dan Mahfud MD yang merasa keberatan karena menganggap Pilpres 2024 mencederai sistem demokrasi yang berlaku.

Saksi paslon capres-cawapres nomor urut 3 itu keberatan terhadap seluruh proses pemilu yang diduga penuh rekayasa hukum dalam hal keterlibatan aparat, penyalahgunaan bansos, intimidasi hingga politik uang (money politics).

"Selanjutnya, keberatan terhadap penyelenggaraan pemilu yang tidak profesional, tidak akuntabel serta secara kolektif melakukan pelanggaran," ujarnya.