Korupsi Proyek Jembatan Sungai Enok, Mantan Direktur PT BRJ Belum Disidang

Korupsi Proyek Jembatan Sungai Enok, Mantan Direktur PT BRJ Belum Disidang

Riaumandiri.co - Jaksa Penuntut Umum (JPU) menggesa merampungkan surat dakwaan dugaan korupsi pembangunan Jembatan Sungai Enok Kecamatan Enok Tahun Anggaran (TA) 2012 dengan tersangka Budhi Syaputra. Ditargetkan, awal tahun depan berkas perkara tersangka bisa dilimpahkan ke pengadilan.

"Lagi proses pematangan surat dakwaan," ujar Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Indragiri Hilir (Inhil) Nova Fuspitasari saat dikonfirmasi melalui Kepala Seksi (Kasi) Intelijen Frederic Daniel Tobing, Senin (18/12).

Budhi Syaputra merupakan mantan Direktur PT Bonai Riau Jaya (BRJ). Perusahaan itu adalah rekanan yang mengerjakan proyek tersebut.


"Rencananya, awal tahun (2024) berkas perkara dilimpahkan ke pengadilan," sebut Daniel.

Diketahui, Budhi telah dijebloskan ke penjara sejak Kamis (23/11) kemarin. Dia ditahan di Rumah Tahanan Negara (Rutan) Kelas I Pekanbaru usai penanganan perkara dilimpahkan penyidik ke JPU, atau tahap II.

"Penahanan sudah diperpanjang, perpanjangan PN (Pengadilan Negeri Pekanbaru, red)," terang mantan Kasi Pidana Khusus (Pidsus) Kejari Pelalawan itu.

Dalam kesempatan itu, Daniel mengatakan ada 11 orang Jaksa bertindak sebagai Penuntut Umum. Belasan JPU itu gabungan dari Kejaksaan Tinggi (Kejati) Riau dan Kejari Inhil.

"6 orang orang dari Kejati, dan 5 orang dari Kejari. Total JPU ada 11 orang," pungkas Frederic Daniel Tobing.

Diketahui, penanganan perkara ini sebelumnya dilakukan Tim Penyidik pada Bidang Pidsus Kejati Riau. Selain Budhi, perkara ini juga menjerat HM Fadillah Akbar yang merupakan Direktur PT BRJ. Penetapan keduanya sebagai tersangka dilakukan pada Kamis (7/9).

Kedua tersangka disangka melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Jo Pasal 18 ayat (1) huruf b Undang-undang (UU) RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Sebelum menyandang status tersangka, di hari itu keduanya dipanggil untuk menjalani pemeriksaan sebagai saksi. Namun saat itu, hanya Budhi yang hadir memenuhi panggilan penyidik, sementara HM Fadillah mangkir.

Sejak saat itu, penyidik berusaha melakukan pemanggilan secara sah dan patut terhadap HM Fadillah. Namun hingga kini, dia tak kunjung menampakkan batang hidungnya ke kantor Kejati Riau.

Atas hal tersebut, Korps Adhyaksa itu akhirnya menetapkan HM Fadillah sebagai Daftar Pencarian Orang (DPO) sejak 19 Oktober 2023.

Dari informasi yang dihimpun, modus yang dilakukan para tersangka, yakni bermula setelah pengumuman lelang Pokja II ULP Kabupaten Inhil pada tanggal 17 Mei 2012, dimana HM Fadillah dan Budhi Syaputra melengkapi persyaratan lelang/tender. Selanjutnya kedua tersangka membantu mencarikan personel fiktif.

Setelah melengkapi persyaratan lelang tersebut, keduanya membuat dokumen berupa surat penawaran, rekap perkiraan pekerjaan, dan surat pernyataan dukungan alat. Hasilnya, PT BRJ dinyatakan sebagai pemenang lelang.

Tersangka HM Fadillah masuk menjadi Direktur PT BRJ dengan alasan sebagai kontrol pekerjaan.

Setelah itu keduanya membuat draf kontrak dengan memalsukan tanda tangan saksi H pada dokumen Kontrak / Addendum I dan II sebesar Rp14.826.029.360 (17 Juli 2012 s/d 31 Desember 2012), Berita Acara (BA) Negosiasi dan BA Penyerahan Lapangan.

Dalam pelaksanaan pekerjaan, tersangka BS merekomendasikan saksi AP untuk bekerja di lapangan, dan Budhi juga yang membeli barang-barang material proyek.

Setiap pencairan uang muka dan termin dilakukan oleh tersangka HM Fadillah dengan memalsukan tanda tangan saksi H. Setelah uang tersebut masuk ke rekening PT BRJ, cek ditandatangani dan dicairkan olehnya sejumlah Rp1.374.000.000 pada tanggal 4 Januari 2013 atau setelah pekerjaan selesai.

Menurut Ahli Fisik Institut Teknologi Bandung (ITB) dalam pelaksanaan fisik pekerjaan tidak sesuai volume dan spesifikasi sebagaimana kontrak / addendum I dan II. Sehingga menurut auditor Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) telah terjadi kerugian keuangan negara sejumlah Rp1.842.306.309,34.