Seret Direktur PT BRJ, Perkara Korupsi Proyek Jembatan Sungai Enok Dilimpahkan ke JPU

Seret Direktur PT BRJ, Perkara Korupsi Proyek Jembatan Sungai Enok Dilimpahkan ke JPU

Riaumandiri.co - Berkas perkara dugaan korupsi pembangunan Jembatan Sungai Enok Kecamatan Enok Tahun Anggaran (TA) 2012 dengan tersangka atas nama Budhi Syaputra akhirnya dinyatakan lengkap atau P-21. Selanjutnya, kewenangan penanganan perkara dilimpahkan ke Jaksa Penuntut Umum (JPU).

Proses tahap II dilaksanakan di Rumah Tahanan Negara (Rutan) Kelas I Pekanbaru, Kamis (23/11). "Pada hari ini, Tim Jaksa Penyidik Pidsus Kejati Riau telah melaksanakan penyerahan tersangka inisial BS dan barang bukti kepada JPU Kejaksaan Negeri (Kejari) Indragiri Hilir (Inhil)," ujar Asisten Pidana Khusus (Pidsus) Kejati Riau, Imran Yusuf, Kamis (23/11).

Budhi Syaputra merupakan mantan Direktur PT Bonai Riau Jaya (BRJ). Perusahaan itu adalah rekanan yang mengerjakan proyek tersebut.


Dikatakan Imran, proses tahap II itu dilakukan setelah berkas perkaranya dinyatakan lengkap atau P-21 pada Kamis (17/11). 

"Selanjutnya terhadap tersangka inisial BS dilakukan penahanan di Rutan kelas I Pekanbaru oleh Tim JPU selama 20 hari terhitung tanggal 23 November sampai dengan tanggal 12 Desember 2023," lanjut Imran.

Dengan telah dilaksanakannya proses tahap II, kata Imran, selanjutnya JPU mempersiapkan dakwaan dan administrasi lainnya untuk pelimpahan berkas perkara ke Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri (PN) Pekanbaru.

"Dalam waktu dekat, berkas perkara tersangka inisial BS akan dilimpahkan ke pengadilan untuk disidangkan," pungkas Imran Yusuf.

Selain Budhi, perkara ini juga menjerat HM Fadillah Akbar yang merupakan Direktur PT BRJ. Penetapan keduanya sebagai tersangka dilakukan pada Kamis (7/9).

Kedua tersangka disangka melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Jo Pasal 18 ayat (1) huruf b Undang-undang (UU) RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Sebelum menyandang status tersangka, di hari itu keduanya dipanggil untuk menjalani pemeriksaan sebagai saksi. Namun saat itu, hanya Budhi yang hadir memenuhi panggilan penyidik, sementara HM Fadillah mangkir.

Sejak saat itu, penyidik berusaha melakukan pemanggilan secara sah dan patut terhadap HM Fadillah. Namun hingga kini, dia tak kunjung menampakkan batang hidungnya ke kantor Kejati Riau.

Atas hal tersebut, Korps Adhyaksa itu akhirnya menetapkan HM Fadillah sebagai Daftar Pencarian Orang (DPO) sejak 19 Oktober 2023.

Dari informasi yang dihimpun, modus yang dilakukan para tersangka, yakni bermula setelah pengumuman lelang Pokja II ULP Kabupaten Inhil pada tanggal 17 Mei 2012, dimana HM Fadillah dan Budhi Syaputra melengkapi persyaratan lelang/tender. Selanjutnya kedua tersangka membantu mencarikan personel fiktif.

Setelah melengkapi persyaratan lelang tersebut, keduanya membuat dokumen berupa surat penawaran, rekap perkiraan pekerjaan, dan surat pernyataan dukungan alat. Hasilnya, PT BRJ dinyatakan sebagai pemenang lelang.

Tersangka HM Fadillah masuk menjadi Direktur PT BRJ dengan alasan sebagai kontrol pekerjaan.

Setelah itu keduanya membuat draf kontrak dengan memalsukan tanda tangan saksi H pada dokumen Kontrak / Addendum I dan II sebesar Rp14.826.029.360 (17 Juli 2012 s/d 31 Desember 2012), Berita Acara (BA) Negosiasi dan BA Penyerahan Lapangan.

Dalam pelaksanaan pekerjaan, tersangka BS merekomendasikan saksi AP untuk bekerja di lapangan, dan Budhi juga yang membeli barang-barang material proyek.

Setiap pencairan uang muka dan termin dilakukan oleh tersangka HM Fadillah dengan memalsukan tanda tangan saksi H. Setelah uang tersebut masuk ke rekening PT BRJ, cek ditandatangani dan dicairkan olehnya sejumlah Rp1.374.000.000 pada tanggal 4 Januari 2013 atau setelah pekerjaan selesai.

Menurut Ahli Fisik Institut Teknologi Bandung (ITB) dalam pelaksanaan fisik pekerjaan tidak sesuai volume dan spesifikasi sebagaimana kontrak / addendum I dan II. Sehingga menurut auditor Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) telah terjadi kerugian keuangan negara sejumlah Rp1.842.306.309,34.