Prediksi Fahri Hamzah Terbukti, Koalisi Bubar Sebelum Daftarkan Capres ke KPU

Prediksi Fahri Hamzah Terbukti, Koalisi Bubar Sebelum Daftarkan Capres ke KPU

RIAUMANDIRI.CO - Prediksi Wakil Ketua Umum DPN Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia Fahri Hamzah setahun lalu terbukti kalau koalisi partai politik dalam pencalonan presiden tidak bisa pastikan, dan bahkan bisa bubar, sampai pendaftaran resmi di buka oleh Komisi Pemilihan Umum atau KPU.

Sebut saja, Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP), pendukung Anies Rasyid Baswedan sebagai bakal calon presiden (Capres) 2024, yang telah mengalami perpecahan alias bubar sertelah salah satu partai pengusungnya, yakni Demokrat angkat kaki dan menarik diri mencalonkan eks Gubernur DKI tersebut.

"Orang tdak percaya dengan omongan saya, hanya karena ada seseorang yang mencalonkan diri begitu dini, lalu dengan pencalonan itu dipakai untuk memaksa orang untuk mendukung dia, baik parpol maupun basis-basis masa," tegas Fahri melalui keterangan tertulisnya, Senin (4/9/2023).

Diketahui bahwa KKP yang terdiri dari NasDem, Demokrat, dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) resmi mengusung Anies sebagai Capres di Pemilu 2024.

Sayangnya, peta berubah karena NasDem dan Anies meninggal dua partai peserta koalisinya dalam menentukan bakal calon wakil presiden (bacawaspres), yakni mengusung Ketua Umum DPP Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Muhaimin Iskandar atau Cak Imin.

Sontak saja, manuver NeDem yang dipimpin ketua umunya Surya Paloh dan capres Anies itu, membuat Partai Demokrat besutan Susilo Bambang Yudhoyoho atau SBY meradang dengan menegaskan keluar dari koalisi dan menarik dukungannya untuk Anies Baswedan.

Kekecewaan Demokrat ini tentunya sangat beralasan, karena sebelumnya Anies melalui surat yang ditulisnya sendiri telah meminta Agus Harimurti Yudhoyono (AHY)  untuk bersedia mendampinginya sebagai cawapres di Pilpres 2024 nanti.

Oleh karena itu, lanjut Fahri Hamzah yang juga mantan Wakil Ketua DPR RI itu, omong kosong kalau koalisi dan pencalonan presiden sebelum dimulai pendaftaran akan berjalan lancar, khususnya diinternal koalisi.

Karena semua itu adalah manuver yang motifnya bukan untuk pemenangan, tetapi untuk menaikan posisi tawar, dan mengambil keuntungan jangka pendek sebelum pendaftaran resmi dilakukan.

"Termasuk rekrutmen partai-partai dalam koalisi untuk mencukupi 'tiket' dan sebagianya. Itu semua omong kosong, termasuk kombinasi capres-cawapres yang diiming-imingi kepada ketua umum partai politik, itu semua omong kosong. Karena sekali lagi, pada akhirnya semua itu ditentukan tidak berbasis pada angka jumlah 'tiket'," katanya lagi.

Sebab menurut Fahri, kekacauan dari penerapan presidential threshold atau PT 20 persen yang dipaksakan ini, maka pertemuan partai dan koalisi-koalisi itu murni hanya untuk kepentingan sesaat, termasuk adalah kepentingan memenuhi 'tiket'.

Di mana, kalau ada kawan baru yang memenuhi kepentingan 'tiket', sementara kawan lama terlalu banyak kepentingan dan keinginan, mereka bisa di tendang.

"Atau kalau ada kemungkinan 'tiket' itu dikaitkan dengan komposisi jumlah kandidat dalam kombinasi, maka ada pihak yang bsa dikorbankan atau pada akhirnya kalau para pemberi biaya alias bohir-bohir tidak sepakat dengan kombinasi itu, maka kombinasi itu bisa dibubarkan. Jadi prediksi saya setahun lalu itu murni karena saya membaca keseluruhan sistemnya. Itu sebabnya saya kecewa karena ada pemanfatan identitas di dalamnya, seperti pemanfaatan identitas agama yang seolah-olah orang itu akan seterusnya berjuang sebagai kandidat Islam, karena tdak ada lagi seperti itu," sebutnya.

Pemimpin itu, masih kata Fahri, seharusnya beradu gagasan, bukan klaim-klaim primodial yang dia halang sejak awal yang memberikan keuntungan kepada kandidat itu dan juga pada partai pendukungnya yang bermorfosa untuk mendapatkan cerug dari basis-basis yang slama ini tdak akrab dengan dia.

"Anda tahu sendiri yang saya maksud. Tetapi intinya adalah kita sebagai rakyat pemilih jangan mau lagi dibohongi, ditipu-tipu oleh rekayasa para elit, untuk mengambil keuntungan bagi mereka pribadi. Tidak ada hubungannya dengan kepentingan dan perjuangan kita, itu hanya penggunaan simbol-simbol identitas saja. Saya kira harus dicermati dan kita baca secara cerdas untuk menyongsong Pemilu 2024 yang akan datang," pungkas Caleg Partai Gelora Indonesia untuk daerah pemilihan atau Dapil Nusa Tenggara Barat I itu. (*)