Istri Kedua Eks Kakanwil BPN Riau Tolak Bersaksi pada Kasus TPPU Suamianya

Istri Kedua Eks Kakanwil BPN Riau Tolak Bersaksi pada Kasus TPPU Suamianya

RIAUMANDIRI.CO - Juli Sasmita akhirnya menampakkan diri di persidangan. Namun yang bersangkutan tidak bersedia bersaksi pada perkara suap dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) pengurusan izin Hak Guna Usaha (HGU) yang menjerat suaminya, Muhammad Syahrir.

Juli merupakan istri kedua dari mantan Kepala Kantor Wilayah (Kakanwil) Badan Pertanahan Nasional (BPN) Riau itu. Dia dihadirkan di persidangan di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri (PN) Pekanbaru secara virtual dari Sumatra Selatan (Sumsel).

Sebelumnya, JPU dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah dua kali memanggil wanita 32 tahun tersebut untuk hadir di persidangan, namun dia memilih mangkir. Juli menyampaikan penolakan tidak secara resmi, hanya melalui Penasihat Hukum terdakwa.


Atas ketidakhadirannya itu, majelis hakim yang diketuai Salomo Ginting mengeluarkan penetapan pemanggilan paksa pada Senin (17/7). Hakim memintanya hadir, baru diputuskan bisa bersaksi atau tidak pada Selasa (18/7) kemarin.

Di persidangan saat itu, Salomo kembali memastikan hubungan antara Juli Sasmita dan Syahrir. "Saya istri Pak M Syahrir," kata Juli Sasmita tegas.

Hakim menanyakan kesediaan Juli Sasmita untuk menjadi saksi bagi Syahrir. "Saya tidak bersedia sebagai saksi, Yang Mulia," jawab dia lagi.

Hakim menerima penolakan dari Juli Sasmita. "Sebagai istri terdakwa, saudara berhak mengundurkan diri," ucap Salomo didampingi hakim anggota Yuli Artha Pujoyotama dan Yelmi.

Atas penolakan tersebut, hakim mempertanyakan kesediaan dari Syahrir. Terdakwa juga menyatakan menerima. "Terdakwa juga tidak keberatan saudara mengundurkan diri. Silakan meninggalkan zoom," kata Salomo.

Kendati menolak bersaksi di persidangan, Juli Sasmita telah memberikan keterangan kepada penyidik KPK yang dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Keterangan itu sudah disampaikan degan benar dan ditandatangani oleh Juli Sasmita

Selain Juli Sasmita, JPU Rio Fandi dan kawan-kawan saat itu juga menghadirkan dua saksi lainnya. Mereka adalah Lufita Putri, pegawai Direktorat LHKPN KPK, dan Niki Aldi selaku Kuasa PT Pulau Kundur Perkasa di Sei Guntung, Indragiri Hilir (Inhil)

Saksi Lufita menjelaskan, Syahrir melaporkan harta kekayaannya pada sejak tahun 2017 hingga 2020. Pada 2017 hingga 2018 Syahril menjabat sebagai Kepala Kanwil BPN Maluku Utara sedangkan 2019 hingga 2021 menjabat Kepala Kanwil BPN Riau.

Harta yang disampaikan terdiri dari harta bergerak dan tidak bergerak, berupa kendaraan, tanah dan bangunan. Kekayaan itu umumnya ada di Provinsi Sumsel.

Saat menjabat Kepala Kanwil BPN Riau, Syahrir menyampaikan penambahan harga kekayaan berupa tanah dan kendaraan. Namun sejak 2022, Syahrir tidak lagi melaporkan harta kekayaannya.

"2022  belum ada laporan, batasan sampai 31 Maret 2023. Kalau pensiun, memang ada kewajiban melampirkan sampai akhir menjabat, tapi  belum ada laporan," tutur saksi.

JPU dalam dakwaannya menyebut  Syahrir diduga menerima gratifikasi dari perusahaan-perusahaan maupun pejabat yang menjadi bawahannya ketika menjabat Kepala Kanwil BPN Riau dan Kepala Kanwil BPN Maluku Utara. Tidak hanya itu, KPK menjerat Syahrir dengan TPPU karena uang itu dialihkannya dengan membeli sejumlah aset.

Tidak tanggung-tanggung, selama menjabat Kakanwil BPN Maluku Utara dan Riau sejak tahun 2017-2022, Syahrir diduga telah menerima uang gratifikasi, yang keseluruhannya berjumlah Rp20.974.425.400.

Rincian gratifikasi yang diterima Syahrir, sebesar Rp5.785.680.400, saat menjabat sebagai Kakanwil BPN Maluku Utara dan Rp15.188.745.000 saat menjabat sebagai Kepala Kanwil BPN Riau.

Di Provinsi Riau, M Syahrir menerima uang untuk pengurusan hak atas tanah di Kanwil BPN Riau dari perusahaan seperti PT Permata Hijau, PT Adimulia Agrolestari, PT Ekadura Indonesia, PT Safari Riau, PTPN V, PT Surya Palma Sejahtera, PT Sekar Bumi Alam Lestari, PT Sumber Jaya Indahnusa Coy, PT Meridan Sejati Surya Plantation.

M Syahrir juga menerima uang dari ASN di lingkungan Kanwil BPN Riau untuk pengurusan izin HGU perusahaan, pengurusan tanah dan pihak lainnya yang memiliki hubungan kerja dengan Kanwil BPN Riau. 

Di antaranya, dari Risna Virgianto yang menjabat sebagai Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Kuantan Singingi (Kuansing) tahun 2019 sampai tahun 2021 sebesar Rp15 juta.

Kemudian dari Satimin terkait pengurusan tanah terlantar/permohonan HGU PT Peputra Supra Jaya pada tahun 2020 sebesar Rp20 juta. Jusman Bahudin terkait pengurusan pendaftaran HGU PT Sekarbumi Alam Lestari sebesar Rp80 juta.

Lalu dari Ahmad Fahmy Halim terkait pengurusan perpanjangan HGU PT Eka Dura Indonesia sebesar Rp1 miliar. Siska Indriyani selaku Notaris/PPAT di Kabupaten Kampar sebesar Rp30 juta.

Dari Indra Gunawan terkait pengurusan HGU PT Safari Riau/PT ADEI Plantation & Industry sebesar Rp10 juta. Suhartono terkait pengurusan perpanjangan HGU First Resource Group (antara lain PT Riau Agung Karya Abadi, PT Perdana Inti Sawit Perkasa, PT Surya Intisari Raya, PT Meridan Sejati Surya Plantation) sebesar Rp15 juta dan menerima uang terkait jabatannya Rp15.188.745.000.

Uang miliaran itu kemudian dialihkannya ke rekening lain dan digunakan untuk membeli sejumlah aset. Diantaranya, sejumlah bidang tanah, rumah toko (ruko), kendaraan dan lainnya.

JPU menjerat Syahrir dengan Pasal 12 huruf a dan huruf b jo Pasal 18 Undang-undang (UU) RI Nomor 31 Tahun 1999  sebagaimana telah diubah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang  Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 65 ayat (1) KUHP dan Pasal 3 UU RI Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.(Dod)