Inilah Enam Polwan Pertama di Indonesia

Inilah Enam Polwan Pertama di Indonesia

RIAUMANDIRI.CO - Setiap tanggal 1 September diperingati sebagai hari ulang tahun (HUT) polisi wanita (polwan).

Penetapan1 September itu sebagai HUT polwan itu didasarkannya pada sejarah dimulai pendidikan kader kepolisian untuk tingkat perwira angkatan 3 di Bukittinggi.

Dilansir dari Ntmcpolri.info, Jumat (2/9/2022), ada dengan 50 orang siswa waktu itu,  enam orang di antaranya adalah calon polisi wanita.

Keenam perintis polisi wanita tersebut adalah Nelly Pauna Situmorang, Djasmainar Husein, Rosmalina Pramono, Maria Mufti, Rosnalina Taher dan Dahniar Sukotjo.

Gagasan penerimaan kembali tenaga polisi wanita mendapat dukungan penuh dari Bhayangkari dan perjuangan untuk itu diteruskan melalui kongres wanita Indonesia (Kowani) yang berhasil setelah melalui proses panjang dan menghadap para pejabat yang berwenang pada waktu.

Sebagai hasilnya, muncullah Brigadir Brigadir Polisi wanita yang cukup menonjol dan disegani masyarakat karena kemampuan intelijen dan tugas umum. Pada bulan Juni 1962, untuk pertama kalinya 4 orang Brigadir polwan ditugaskan pada Detasemen kawal pribadi korps Brimob di Istana Presiden.

Seiring dengan berjalannya waktu tugas polisi wanita terus berkembang sehingga tugas tersebut tidak lagi dapat dipisahkan dengan tugas polisi lainnya sama-sama menjadi aparat negara yang menjalankan tugas sebagai pelindung pengayom dan pelayanan masyarakat serta penegakan hukum dalam masyarakat.

Jas merah, jangan sekali-sekali Melupakan sejarah, untuk mengenang kebangkitan wanita-wanita pilihan di Republik Indonesia dalam turut serta membangun negeri ini, pada tanggal 1 September 2015 dibangun Monumen polwan di Bukittinggi sebagai Kota lahirnya polwan. Sumatera Barat menjadi saksi bisu semangat ESTHI BHAKTI WARAPSARI dalam membangun negeri.

Masih dikutip dari Ntmcpolri.info, sejarah berdirinya polwan bermula dari  masa penjajahan Belanda. Akibat serangan besar-besaran Belanda, arus pengungsian terjadi dimana-mana. Pria, wanita dan anak-anak meninggalkan rumah mereka untuk menjauhi titik-titik peperangan.

Pengungsian besar-besaran itu berpotensi menimbulkan masalah jika ada penyusup atau kriminal di antara pengungsi yang masuk ke wilayah-wilayah yang dikuasai Republik.

Bila ada kejahatan yang dilakukan oleh anak-anak atau wanita para pengungsi perempuan menolak digeledah oleh Polisi pria. Maka para pejabat kepolisian seringkali meminta bantuan kepada istri-istrinya untuk melakukan pemeriksaan dan penggeledahan.

Menyadari akan kebutuhan petugas wanita untuk menjalankan tugas-tugas kepolisian yang tidak dapat dilakukan oleh polisi pria, maka pimpinan Polri pada saat itu memutuskan untuk menjadi polisi wanita.

Pada akhirnya pada tanggal 1 September 1948 dimulai pendidikan kader kepolisian untuk tingkat Perwira Angkatan 3 di Bukittinggi dengan 50 (lima puluh orang siswa), 6 (enam) orang di antaranya adalah calon polisi wanita. (*)



Tags Sejarah