Perintah Shalat, Nabi Suruh 5.475 Kali

Sabtu, 18 Juli 2020 - 19:06 WIB

Oleh: Dr. Erman Gani

RIAUMANDIRI.ID - Suatu ketika, seorang mahasiswa menjumpai penulis. Ia memperlihatkan selembar kertas. Berisi keterangan bahwa penulis adalah penasihat akademisnya.  

Ternyata mahasiswa baru, semester satu. Ia hendak mengkonsultasikan proses yang akan dijalani selama perkuliahan.

Ada beban teori yang harus diselesaikan selama kuliah. Termasuk beberapa kewajiban lainnya, seperti penulisan skripsi, magang, dan pengabdian masyarakat.

Namun raut wajahnya berubah dan terkejut begitu mendengar item terkait penguasaan Alquran juz 30.

Penulis kemudian memberikan motivasi bahwa hafalan Alquran juz 30  disetor kelak ketika  mengajukan skripsi. “Tidak sekarang, masih lama,” ucap penulis sembari menekankan agar sang mahasiswa menghapal sejak sekarang dan menjadikannya ayat dalam setiap shalat lima waktu.

“Apakah saudara selalu menjalankan shalat lima waktu?,” tanya penulis sambil menandatangani form lembaran konsultasinya.

Kali ini penulis pula yang terkejut mendengar jawabannya.  

Sambil menundukkan wajah dan diselimuti rasa malu, ia menjawab jarang sekali melaksanakan shalat lima waktu.  

Penulis semakin terkejut dan terenyuh ketika mendapatkan penjelasan kalau orang tuanya juga jarang mendirikan shalat lima waktu.

Penulis berupaya memberikan nasihat tentang signifikansi mendirikan shalat lima waktu.

Seorang mukallaf mesti mendirikan shalat dan membiasakan diri untuk mengerjakannya. Indikator utama identitas seorang muslim ditentukan oleh shalat.

Begitu sang mahasiswa berlalu, penulis berguman dan membatin di dalam hati. Perhatian dan sikap orangtua menjadi penentu tentang agama seorang anak.  

Teringat sabda Nabi SAW yang memerintahkan orangtua untuk menyuruh anaknya shalat.

“Suruhlah anak kalian shalat ketika berumur tujuh tahun.  Dan pukullah mereka ketika berusia  sepuluh tahun bila mereka meninggalkan shalat. (HR. Abu Dawud, Ahmad dan al-Hakim)

Hadis  tarbawi tersebut menjadi metode yang sangat tepat bagi orang tua dalam membiasakan anak mendirikan kewajiban shalat sejak umur 7 tahun.

Selanjutnya memberikan pukulan mendidik yang  tidak mencederai bila anak tidak mengerjaknannya  sewaktu berumur 10 tahun.

Nabi yang mulia memberikan interval 3 tahun durasi pembiasaan anak dalam mendirikan shalat. Bila satu tahun terdiri dari 365 hari, kemudian  dikalikan 3 tahun, sesuai perintah Nabi, dan dikalikan pula 5 kali perintah shalat sehari semalam, maka didapati 5.475 kali orangtua mesti menyuruh anaknya mengerjakan shalat.

Tidak hanya menyuruh tapi juga mengajak, mencontohkan (modeling) dan membiasakannya.    
 
Pembiasaan dianggap sebagai suatu cara yang dapat dilakukan untuk mentradisikan anak berpikir, bersikap dan bertindak sesuai dengan tuntunan ajaran Islam.

Secara teori,  dalam  ilmu Metodologi Pendidikan Islam,  pembiasaan merupakan upaya praktis dan efektif dalam pendidikan dan pembinaan terhadap anak yang  masih  berusia dini.  Karena mereka memiliki rekaman yang kuat.  Sehingga anak mudah larut dengan kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan sehari-hari.

Orang tua memiliki tanggung jawab besar terhadap keberlangsungan pendidikan shalat anak-anaknya.

Redaksi yang digunakan dalam hadis tersebut adalah ‘murru’ yang berarti ‘perintahlah’ atau ‘suruhlah’. Kalimatnya berupa fi'il amar.

Secara tashrif menunjukkah arti perintah. Kata perintah, dalam tata bahasa, adalah sebuah perkataan yang bermaksud menyuruh untuk melakukan sesuatu.  

Kata menyuruh memiliki arti yang sama dengan perintah, yaitu memerintah supaya melakukan sesuatu.

Metode perintah ini tidak hanya sebatas memerintah secara lisan. Namun juga diharuskan memberikan bimbingan sekaligus memantau pelaksanaan shalat sang anak.

Seorang anak tidak akan melaksanakan shalat secara tetap bila hanya diperintah atau disuruh saja.  

Alquran menggunakan terminologi sebutan anak dengan menggunakan beberapa istilah, di antaranya, ibn, walad, shabiy, ghulam, thifl, dan lainnya. Penggunaan kata tersebut memiliki fungsi dan kegunaan masing-masing.

Kata ibn misalnya, secara bahasa berasal dari kata bana yang bermakna pondasi, dasar atau  tempat sesuatu yang dibangun di atasnya. Seorang anak disebut ibn, karena pada dasarnya pembinaan terhadap anak dimulai sejak awal pondasi dan  dasar.

Bila sejak semasa kecil dididik dengan baik, maka ia akan tumbuh menjadi anak yang baik.

Sebaliknya bila sejak kecil tidak dituntun dengan kebaikan dan amal shaleh, maka kelak dewasa jauh dari harapan orang tuanya.

Allah SWT menekankan agar setiap orang tua berupaya sekuat tenaga menjaga dan menghindarkan anak dan keluarga dari ancaman api neraka.

"Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, dan keras, yang tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan." (QS. al-Tahrim [66]:6)

Wallahu A’lam

 

*Penulis adalah dosen UIN Suska Riau dan Sekretaris MDI Pekanbaru.
 

Editor: Rico Mardianto

Terkini

Terpopuler