Dinilai Menyimpang, Keberadaan BUMDes Perlu Dievaluasi Menyeluruh

Kamis, 31 Oktober 2019 - 17:56 WIB
Pimpinan dan Peserta Rapat Dengar Pendapat Komite I DPD RI

RIAUMANDIRI.ID, JAKARTA - Keberadaan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) hendaknya tidak menghambat ekonomi desa yang sudah ada. Karena diperlukan evaluasi menyeluruh terhadap keberadaan BUMDes yang dalam pelaksanaannya saat ini telah menyimpang, di antaranya terkait pengelolaan BUMDes yang dikuasai oleh kerabat dan keluarga kepala desa sehingga tata kelola BUMDes cenderung tidak transparan dan akuntabel.

Demikian mengemuka dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komite I Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) yang membahas perkembangan pelaksanaan UU nomor 6 tahun 2014 tentang Desa pada Rabu (30/10/2019).

RDP yang dipimpin oleh Ketua Komite I DPD RI, Teras Narang didampingi oleh Wakil Ketua Komite I DPD RI, Djafar Alkatiri dan Abdul Kholik ini menghadirkan narasumber Direktur Jenderal Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa Kementerian Desa PDTT, Taufik Madjid dan Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya, Prof. Ahmad Erani Yustika.

Dalam pemaparan kedua narasumber, UU Desa telah memberikan paradigma baru bagi pembangunan desa, dimana pembangunan desa dilakukan dengan bottom up planing dengan mengedepankan kewenangan asal usul dan kewenangan berskala lokal desa. 
Keduanya juga menyatakan, hakekat dan tujuan pembangunan desa adalah meningkatkan kualitas hidup manusia, meningkatkan pelayanan publik di desa dan menanggulangi kemiskinan.

Dari kedua narasumber, ada beberapa catatan yang patut diperhatikan dalam pelaksanaan UU Desa selama ini. Pertama, terkait kedaulatan desa, yaitu adanya kewenangan desa berskala lokal yang belum terimplementasikan dengan optimal sesuai UU Desa. 

Kedua, formulasi dana desa yang masih menimbulkan ketimpangan jumlah yang cukup tinggi antar desa. Ketiga, penyerapan dan penyaluran dana desa dari tahun ke tahun yang meningkat, namun yang disayangkan tahapan penyaluran dana desa menjadi tiga tahapan justru telah menghambat penyerapan dan pembangunan desa.

Keempat, kapasitas perangkat desa yang masih kurang memadai, khususnya dalam hal tata kelola keuangan desa. Kelima, pelaksanaan Pilkades menyebabkan adanya pergantian personil atau perangkat desa yang sudah memahami tata kelola pemerintahan desa, sehingga adanya personil yang baru memerlukan pelatihan dan adaptasi dari awal lagi yang cukup menghambat berlangsungnya tata kelola pemerintahan desa. 

Keenam, keberadaan BUMdes hendaknya tidak menghambat ekonomi desa yang sudah ada. Maka diperlukan evaluasi menyeluruh terhadap keberadaan BUMDes yang dalam pelaksanaannya saat ini telah menyimpang, diantaranya terkait pengelolaan BUMDes yang dikuasai oleh kerabat dan keluarga kepala desa sehingga tata kelola BUMDes cenderung tidak transparan dan akuntabel.

Ketujuh, pembangunan kawasan perdesaan, yaitu dengan mendorong perwujudan kolaborasi antar desa untuk mengembangkan aktivitas ekonomi dikawasan perdesaan dalam rangka mewujudkan kesejahteraan desa.  

Berkaitan dengan pertanggungjawaban dana desa, Komite I DPD RI dan kedua narasumber menyimpulkan perlu adanya penyederhanaan mekanisme pelaporan penggunaan dana desa sebagai solusi bagi problematika penyaluran, penyerapan dan pemanfaatan dana desa selama ini. 

Baik Prof. Erani maupun Taufik Madjid memberikan masukan kepada Komite I DPD RI agar ada perhatian serius terhadap peran dan kewenangan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) yang selama ini kurang optimal.
 
“Optimalisasi peran BPD akan mendorong pengawasan pelaksanaan dana eesa menjadi lebih maksimal disamping peran warga masyarakat desa sebagaimana telah diatur dalam UU Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa”, ujar Prof. Erani yang pernah menjadi Staf Khusus Presiden Joko Widodo Bidang Ekonomi ini. 

Dari RDP ini, Komite I DPD RI berencana akan melakukan pengawasan lebih detail terhadap arah kebijakan dan strategi pemerintah tahun 2020-2024 yang berkaitan dengan desa yang dilaksanakan melalui berbagai program strategis. 

Sebagaimana dipaparkan oleh Taufik Madjid, arah kebijakan desa 2020-2024 itu sendiri terdiri dari mengentaskan 10 ribu desa tertinggal menjadi desa berkembang, mendorong 5 ribu desa berkembang menjadi desa mandiri, revitalisasi 63 kawasan transmigrasi, revitalisasi 40 Kawasan Perdesaan Prioritas Nasional (KPPN), dan mengentaskan 62 daerah tertinggal.
 
Lebih lanjut Taufik menjelaskan, arah kebijakan desa 2020 – 2024 tersebut dijalankan dengan program strategis antara lain peningkatan konektivitas antar wilayah perdesaan dan perkotaan, peningkatan usaha pasca panen komoditas pertanian, penguatan pariwisata desa, peningkatan Sumber Daya Manusia di desa dan digitalisasi perdesaan.


Reporter: Syafril Amir

Editor: Nandra F Piliang

Tags

Terkini

Terpopuler