FX. Hastowo Broto Laksito, S.H, M.H
Dosen Fakultas Hukum Universitas Slamet Riyadi, Surakarta
Kasus yang menimpa penyanyi internasional Agnes Monica atau Agnez Mo kembali membuka mata publik tentang pentingnya perlindungan hak cipta musik. Sebagai seorang artis yang telah menembus panggung global, Agnez Mo kerap menghadapi isu seputar penggunaan karya musiknya tanpa izin. Fenomena ini mencerminkan bahwa persoalan hak cipta bukan hanya dialami musisi lokal, tetapi juga seniman besar yang karyanya dinikmati oleh jutaan orang di seluruh dunia.
Secara hukum, hak cipta musik dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Pasal-pasal di dalamnya menegaskan bahwa setiap pencipta berhak mendapatkan pengakuan moral dan imbalan ekonomi dari karya yang diciptakannya. Artinya, penggunaan lagu Agnez Mo di berbagai platform, acara publik, atau produk komersial tanpa izin adalah bentuk pelanggaran hukum. Masyarakat sering lupa bahwa musik bukanlah “milik umum” hanya karena bisa didengar bebas di media digital.
Kasus Agnez Mo ini memperlihatkan bagaimana musisi kerap dirugikan oleh lemahnya kesadaran hukum publik. Banyak pihak masih menganggap remeh penggunaan karya musik orang lain tanpa lisensi. Padahal, bagi seorang musisi, hak cipta adalah “napas” yang menopang karier dan kehidupan mereka. Royalti dari pemutaran lagu merupakan hak ekonomi yang seharusnya diterima pencipta, bukan diabaikan.
Selain itu, isu ini juga menyoroti peran penting Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) dalam menyalurkan royalti kepada musisi. Mekanisme distribusi royalti di Indonesia masih sering menuai kritik, mulai dari kurangnya transparansi hingga sulitnya akses bagi musisi independen. Kasus Agnez Mo bisa menjadi momentum untuk memperbaiki tata kelola royalti agar lebih adil dan akuntabel, tidak hanya untuk artis besar, tetapi juga untuk pencipta lagu pemula.
Dari perspektif masyarakat, kasus ini harus dijadikan pelajaran bahwa menghargai karya seni berarti juga menghormati hak cipta. Mengunduh lagu secara ilegal, memutar musik tanpa lisensi di ruang publik, atau menggunakan karya musik dalam konten digital tanpa izin adalah pelanggaran hukum. Bahkan, dalam skala internasional, pelanggaran hak cipta dapat berdampak pada reputasi negara di mata dunia.
Kasus hak musik yang menimpa Agnes Monica bukan sekadar isu pribadi seorang artis, melainkan cermin kelemahan ekosistem perlindungan hak cipta di Indonesia. Negara, lembaga pengelola, dan masyarakat harus lebih serius menjamin bahwa musisi benar-benar mendapat haknya. Jika karya musik adalah bagian dari identitas bangsa, maka melindungi hak cipta berarti menjaga martabat budaya Indonesia di mata dunia.
*Penulis adalah dosen fakultas hukum di Universitas Slamet Riyadi dan aktif dalam penulisan isu-isu hukum publik dan digital